Ketika kita berbicara soal hukum, kita
akan disuguhkan banyak sekali bahan diskusi yang menarik. Dari diskursus yang
terjadi itulah maka sekarang kita sudah dapat menikmati begitu banyak karya
yang dihasilkan oleh para sarjana dan pemikir-pemikir hukum. Salah satu yang
berkembang dan sedang digandrungi oleh banyak mahasiswa dan praktisi hukum di
Indonesia adalah hukum progresif,
yakni hukum yang diimplementasikan secara kontekstual.
Hukum progresif pertama kali digagas oleh
Prof. Satjipto Rahardjo, seorang guru besar dalam bidang hukum, dosen, penulis,
dan aktivis penegakan hukum, dan juga dikenal sebagai Dekan Fakultas Hukum
Universitas Dipenogoro. Prof. Tjip, sapaan akrab beliau, berpendapat bahwa, “Hukum
itu bukan hanya bangunan peraturan, melainkan bangun ide, kultur, dan
cita-cita”. Semangat yang dibawa beliau adalah bagaimana pemikiran hukum
perlu dikembalikan pada akarnya, yaitu hukum untuk manusia bukan sebaliknya. Di
kalangan penggiat hukum progresif, mereka memahami bahwa hukum tidak akan
pernah lepas dari kehidupan manusia. Kualitas hukum akan ditentukan oleh
bagaimana kemampuannya beradaptasi dengan realitas yang ada demi terciptanya kesejahteraan
dan keadilan bagi manusia. Dari logika itulah revitalisasi hukum harus
dilakukan oleh para penegak hukum dalam menerjemahkan dan melakukan
interpretasi hukum. Kekreatifitasan penegak hukum dalam memaknai peraturan yang
ada sangat diperlukan agar dapat menghadirkan keadilan untuk masyarakat dan
para pencari keadilan.
Hal yang dilakukan oleh Prof. Tjip di
atas adalah sebuah gerakan pembaharuan dalam bidang hukum, yang mana beliau
sadar bahwa hukum yang termuat di dalam teks adalah kaku dan ketika dihadapkan
dengan realitas masyarakat yang begitu dinamis ini diperlukan paradigma baru
dalam berhukum. Gerakan ini tidak hanya terjadi dalam bidang hukum, akan tetapi
juga terjadi hampir di setiap sendi-sendi kehidupan manusia tak terkecuali di
dalam Islam. Islam sebagai sebuah entitas dengan rekam sejarah panjang yang
bersentuhan langsung dengan pemeluknya tentu saja mengalami banyak dinamika.
Pembaharuan-pembaharuan dilakukan demi memfasilitasi umat Islam agar tetap
dapat menjalankan perintah agamanya dengan nyaman karena Islam datang dengan
ajaran-ajarannya yang universal. Sebagaimana hukum formil yang kita kenal
sekarang, ajaran Islam juga terangkum di dalam teks. Yang membedakannya ialah
dari mana teks tersebut bersumber. Teks hukum formil yang digunakan seluruh
negara hukum berasal dari interpretasi manusia atas nilai yang tumbuh dan
berkembang di dalam suatu masyarakat, sedangkan teks suci ajaran Islam bersifat
lebih ekslusif karena bersumber dari kalam ilahi (wahyu). Apabila Prof.
Satjipto Rahardjo dengan gagasan hukum progresifnya gamblang menyampaikan
konsep rule breaking (melanggar aturan, dalam hal ini adalah sebuah
konsep berhukum yang tidak stagnan pada teks hukum), maka di pihak pembaharu
dalam Islam akan sangat berhati-hati dikarenakan oleh sensitivitas antara
ajaran yang dibawa dengan konsekuensi dari kesalahan yang mungkin terjadi.
KH. Abdurrahman Wahid, atau yang biasa
disapa Gus Dur, adalah salah satu tokoh pembaharu dari kalangan Nahdliyyin.
Beliau berpendapat bahwa pembaharuan pemikiran Islam dapat disederhanakan ke
dalam dua paradigma. Pertama, paradigma yang memandang Islam sebagai agama yang
paripurna. Islam diyakini memiliki ajaran yang lengkap di segala bidang,
baik itu sosial, politik, ekonomi hingga budaya. Karena itu, pembaharuan Islam
pada paradigma ini berarti kembalinya Islam kepada kemurniannya yang diyakini
sebagai ajaran yang lengkap tadi. Akan tetapi, Islam kemudian dihadapkan kepada
agama, pemikiran, dan ideologi lain serta kompleksitas problem masyarakat
modern saat ini. Islam ditampilkan sebagai sesuatu yang berbeda dengan ideologi,
ajaran dan agama lain. Bahkan ekstremnya lagi, Islam digambarkan sebagai sesuatu
yang bertentangan dan berlawanan dengan yang lain. Kedua, paradigma yang
berpandangan bahwa Islam berada dalam arus sejarah peradaban kemanusiaan. Islam
bertemu, berjumpa, berbaur bahkan menyerap dari banyak hal yang berlangsung
dalam sejarah umat manusia.
Pada paradigma pertama dapat kita lihat
betapa rigit-nya sudut pandang tersebut. Seakan-akan Islam adalah agama
superior yang akan menggilas siapa saja yang berbeda. Padahal Islam bukanlah
agama yang otoritarian, walaupun terdapat elemen doktrin di dalamnya. Namun
elemen tersebut berada pada tataran aqidah, dan Allah. SWT masih memberikan
akal sebagai kuasa manusia agar dapat terus eksis dan beradaptasi dengan
kemajuan zaman. Akan terjadi dialog-relasional antara Islam dengan
entitas-entitas yang ada. Gus Dur lebih memilih paradigma kedua yang memandang
Islam sebagai bagian dari sketsa sejarah dan membuka kemungkinan untuk berdialog
dengan figur lain yang juga sama-sama sedang menjalankan skenario Tuhan. Sikap
keterbukaan inilah yang dibutuhkan oleh umat muslim di era modern ini. Menurut
Gus Dur, umat Islam khususnya warga Nahdliyyin perlu membuka ruang bagi
pemikiran dan filsafat, karena dengan dinamisasi pemikiran Islam ini,
diharapkan umat Islam dapat bangkit dari stagnansi pemikiran Islam.
Keterbukaan umat Islam terhadap hal baru yang berasal dari entitas eksternal akan
memberikan angin segar bagi hubungan transformatif dalam realitas sosial yang
plural ini, di mana akan lahir motivasi untuk saling mengisi dan melengkapi
satu sama lain.
Demikianlah tadi perjuangan dua sosok
pembaharu yang dengan gigih memberikan sumbangsih terbaiknya bagi kita, baik
melalui pemikiran maupun gerakan nyata. Prof. Tjip, dengan gagasan hukum
progresifnya, menyadarkan kita bahwa hukum bukanlah semata-mata apa yang
tertuang di dalam teks melainkan penegakan keadilan yang menjadi tujuan dari
dibentuknya hukum. Begitu pula Gus Dur, sang Guru Bangsa, yang tanpa kenal
lelah menuntun bangsa ini untuk membuka mata lebar-lebar bahwa Islam hadir
tidak untuk menggerus segala sesuatu yang sudah ada, menyeragamkan yang
beragam, menyamakan yang tidak sama. Akan tetapi Islam datang secara damai,
bergaul, dan berdialog dengan mereka yang berbeda, karena persatuan tidak mesti
selalu dimaknai secara legal-formal, hidup dengan saling menghargai,
menghormati dan tolong menolong merupakan wujud dari persatuan, berkat
terciptanya kerukunan dan perdamaian di antara berbagai entitas sosial yang
ada. Dengan keterbukaan terhadap hal di luar Islam, saling memahami, dan
mengerti kekurangan dan kelebihan masing-masing. Semoga kita, entah dari
kalangan manapun, yang memiliki pemikiran yang sama dengan beliau-beliau,
bersedia menjadi anak-anak ideologisnya dengan meneruskan perjuangannya.
Wallahul muwaffiq ila
aqwamith thariq.