15/08/17

SIA

Apa yang mesti disuarakan
jika pada akhirnya yang disuarakan tak didengarkan!
Apa yang mesti diperjuangkan
jika di ujung jalan malah diacuhkan!
Kemeriahan tak diperlukan
jika nantinya perayaan hanya akan meninggalkan sampah berserakan!

Banyak yang bersemangat menyuarakan
tapi sedikit yang dengan saksama mendengarkan!
Banyak yang gigih memperjuangkan
tapi sedikit yang mati-matian mempertahankan!
Banyak yang riuh memeriahkan
tapi perayaan hanya sebuah seremoni tanpa penghayatan!

Bersuara kurang asik
tanpa mencatut nama golongan!
Berjuang tak bergelora
tanpa klaim kebenaran!
Kemeriahan hanya tontonan pelengkap
bagi mereka yang dahaga kemenangan!

Suara melengking ketika di atas angin,
yang berbeda dituduh ini dan itu!
Jika terjepit merengek malu-malu
bak korban pencabulan!
Perjuangan masih panjang kata komandan,
berjalan dengan pakaian kebesaran,
entah salah memilih ukuran
atau dibeli dengan duit kembalian papa beli sahang!

Negeriku, wajahmu tak berseri lagi.
Kini muram seiring awanyang melegam.
Bintangmu sedang meredup,
beringinmu mulai layu,
bantengmu sudah tua,
padi dan kapasmu tak lagi berbuah,
Ke-Bhineka-an tengah digoyang oleh setan kebencian.
Negeriku, semoga umurmu panjang sentosa,
agar anak cucuku dapat merasakan sejuknya angin Nusantara.

(Sekitaran Khatulistiwa, Mei 2017)
Read More

29/06/16

KEMANA AKU KAU BAWA?

Jikalau aku harus melesap
Lalu buih pun tiada, lenyap
Bekas tanganku ambruk
Dikunyah hingga remuk
Kejadian tiada lagi
Habis sudah dijilat api
Mengorok babi-babi
Sampan mulai menepi

Di sudut sana
Pinggan sang mantan masih berserakan
Dibasuh kemunafikan
Di abad pertengahan mulai diselipkan
Segala ceritera dan jeritan
Ikhwal sang mantan belum selesai, kawan!
Masih terombang-ambing ia di peraduan
Ikhlaskan, ikhlaskan memulai pelayaran

Aku siap menjadi nahkoda
Arungi narasi tanpa basa-basi
Di bait berikutnya kau berada
Menjelma puisi tanpa ilusi
Narasi tiada jeda
Puisi tiada luka
Ya, di sampanku kau berada
Jangan tengok bahtera mereka
Aku tak punya papa

Nan jauh di ufuk
Sehabis kau menunjuk lalu memeluk
Ku lihat kau sedikit bertutur
Pelan, namun cukup buatku
"Kita tengah berdua, kemana aku kau bawa?", katamu.

Andi Abang
Pontianak, 28 Juni 2016
Read More

29/03/16

Gus Dur & Tjip; Pembaharu Beda Dimensi

Ketika kita berbicara soal hukum, kita akan disuguhkan banyak sekali bahan diskusi yang menarik. Dari diskursus yang terjadi itulah maka sekarang kita sudah dapat menikmati begitu banyak karya yang dihasilkan oleh para sarjana dan pemikir-pemikir hukum. Salah satu yang berkembang dan sedang digandrungi oleh banyak mahasiswa dan praktisi hukum di Indonesia adalah  hukum progresif, yakni hukum yang diimplementasikan secara kontekstual.

Hukum progresif pertama kali digagas oleh Prof. Satjipto Rahardjo, seorang guru besar dalam bidang hukum, dosen, penulis, dan aktivis penegakan hukum, dan juga dikenal sebagai Dekan Fakultas Hukum Universitas Dipenogoro. Prof. Tjip, sapaan akrab beliau, berpendapat bahwa, “Hukum itu bukan hanya bangunan peraturan, melainkan bangun ide, kultur, dan cita-cita”. Semangat yang dibawa beliau adalah bagaimana pemikiran hukum perlu dikembalikan pada akarnya, yaitu hukum untuk manusia bukan sebaliknya. Di kalangan penggiat hukum progresif, mereka memahami bahwa hukum tidak akan pernah lepas dari kehidupan manusia. Kualitas hukum akan ditentukan oleh bagaimana kemampuannya beradaptasi dengan realitas yang ada demi terciptanya kesejahteraan dan keadilan bagi manusia. Dari logika itulah revitalisasi hukum harus dilakukan oleh para penegak hukum dalam menerjemahkan dan melakukan interpretasi hukum. Kekreatifitasan penegak hukum dalam memaknai peraturan yang ada sangat diperlukan agar dapat menghadirkan keadilan untuk masyarakat dan para pencari keadilan.

Hal yang dilakukan oleh Prof. Tjip di atas adalah sebuah gerakan pembaharuan dalam bidang hukum, yang mana beliau sadar bahwa hukum yang termuat di dalam teks adalah kaku dan ketika dihadapkan dengan realitas masyarakat yang begitu dinamis ini diperlukan paradigma baru dalam berhukum. Gerakan ini tidak hanya terjadi dalam bidang hukum, akan tetapi juga terjadi hampir di setiap sendi-sendi kehidupan manusia tak terkecuali di dalam Islam. Islam sebagai sebuah entitas dengan rekam sejarah panjang yang bersentuhan langsung dengan pemeluknya tentu saja mengalami banyak dinamika. Pembaharuan-pembaharuan dilakukan demi memfasilitasi umat Islam agar tetap dapat menjalankan perintah agamanya dengan nyaman karena Islam datang dengan ajaran-ajarannya yang universal. Sebagaimana hukum formil yang kita kenal sekarang, ajaran Islam juga terangkum di dalam teks. Yang membedakannya ialah dari mana teks tersebut bersumber. Teks hukum formil yang digunakan seluruh negara hukum berasal dari interpretasi manusia atas nilai yang tumbuh dan berkembang di dalam suatu masyarakat, sedangkan teks suci ajaran Islam bersifat lebih ekslusif karena bersumber dari kalam ilahi (wahyu). Apabila Prof. Satjipto Rahardjo dengan gagasan hukum progresifnya gamblang menyampaikan konsep rule breaking (melanggar aturan, dalam hal ini adalah sebuah konsep berhukum yang tidak stagnan pada teks hukum), maka di pihak pembaharu dalam Islam akan sangat berhati-hati dikarenakan oleh sensitivitas antara ajaran yang dibawa dengan konsekuensi dari kesalahan yang mungkin terjadi.

KH. Abdurrahman Wahid, atau yang biasa disapa Gus Dur, adalah salah satu tokoh pembaharu dari kalangan Nahdliyyin. Beliau berpendapat bahwa pembaharuan pemikiran Islam dapat disederhanakan ke dalam dua paradigma. Pertama, paradigma yang memandang Islam sebagai agama yang paripurna. Islam diyakini memiliki ajaran yang lengkap di segala bidang, baik itu sosial, politik, ekonomi hingga budaya. Karena itu, pembaharuan Islam pada paradigma ini berarti kembalinya Islam kepada kemurniannya yang diyakini sebagai ajaran yang lengkap tadi. Akan tetapi, Islam kemudian dihadapkan kepada agama, pemikiran, dan ideologi lain serta kompleksitas problem masyarakat modern saat ini. Islam ditampilkan sebagai sesuatu yang berbeda dengan ideologi, ajaran dan agama lain. Bahkan ekstremnya lagi, Islam digambarkan sebagai sesuatu yang bertentangan dan berlawanan dengan yang lain. Kedua, paradigma yang berpandangan bahwa Islam berada dalam arus sejarah peradaban kemanusiaan. Islam bertemu, berjumpa, berbaur bahkan menyerap dari banyak hal yang berlangsung dalam sejarah umat manusia.

Pada paradigma pertama dapat kita lihat betapa rigit-nya sudut pandang tersebut. Seakan-akan Islam adalah agama superior yang akan menggilas siapa saja yang berbeda. Padahal Islam bukanlah agama yang otoritarian, walaupun terdapat elemen doktrin di dalamnya. Namun elemen tersebut berada pada tataran aqidah, dan Allah. SWT masih memberikan akal sebagai kuasa manusia agar dapat terus eksis dan beradaptasi dengan kemajuan zaman. Akan terjadi dialog-relasional antara Islam dengan entitas-entitas yang ada. Gus Dur lebih memilih paradigma kedua yang memandang Islam sebagai bagian dari sketsa sejarah dan membuka kemungkinan untuk berdialog dengan figur lain yang juga sama-sama sedang menjalankan skenario Tuhan. Sikap keterbukaan inilah yang dibutuhkan oleh umat muslim di era modern ini. Menurut Gus Dur, umat Islam khususnya warga Nahdliyyin perlu membuka ruang bagi pemikiran dan filsafat, karena dengan dinamisasi pemikiran Islam ini, diharapkan umat Islam dapat bangkit dari stagnansi pemikiran Islam.

Keterbukaan umat Islam terhadap  hal baru yang berasal dari entitas eksternal akan memberikan angin segar bagi hubungan transformatif dalam realitas sosial yang plural ini, di mana akan lahir motivasi untuk saling mengisi dan melengkapi satu sama lain.
Demikianlah tadi perjuangan dua sosok pembaharu yang dengan gigih memberikan sumbangsih terbaiknya bagi kita, baik melalui pemikiran maupun gerakan nyata. Prof. Tjip, dengan gagasan hukum progresifnya, menyadarkan kita bahwa hukum bukanlah semata-mata apa yang tertuang di dalam teks melainkan penegakan keadilan yang menjadi tujuan dari dibentuknya hukum. Begitu pula Gus Dur, sang Guru Bangsa, yang tanpa kenal lelah menuntun bangsa ini untuk membuka mata lebar-lebar bahwa Islam hadir tidak untuk menggerus segala sesuatu yang sudah ada, menyeragamkan yang beragam, menyamakan yang tidak sama. Akan tetapi Islam datang secara damai, bergaul, dan berdialog dengan mereka yang berbeda, karena persatuan tidak mesti selalu dimaknai secara legal-formal, hidup dengan saling menghargai, menghormati dan tolong menolong merupakan wujud dari persatuan, berkat terciptanya kerukunan dan perdamaian di antara berbagai entitas sosial yang ada. Dengan keterbukaan terhadap hal di luar Islam, saling memahami, dan mengerti kekurangan dan kelebihan masing-masing. Semoga kita, entah dari kalangan manapun, yang memiliki pemikiran yang sama dengan beliau-beliau, bersedia menjadi anak-anak ideologisnya dengan meneruskan perjuangannya.

Wallahul muwaffiq ila aqwamith thariq.
Read More

27/10/15

UNDER CONSTRUCTION

MASIH DALAM PERBAIKAN
...................................................................................................................................................................
Read More

20/10/15

KAMI MANUSIA


Kami adalah manusia muda yang telah aqil baligh
Kami adalah manusia tak terpandang yang telah banyak memandang
Kami adalah manusia berfirasat yang telah merasakan derita
Kami adalah manusia cerewet yang telah banyak bercerita
Kami adalah manusia beruntung yang telah hidup
Kami adalah manusia merugi yang masih tetap hidup
Kami adalah manusia dengan seribu konsep yang masih saja tunduk
Kami adalah manusia kuat yang masih saja terbudaki
Kami adalah manusia terorganisir yang terus tunggang langgang mencari tempat
Kami adalah manusia bertuhan yang masih saja tersesat
Kami adalah manusia yang masih banyak diantara kami yang tak tahu siapa kami


Kamilah manusia yang ingin menjadi manusia
Read More

19/10/15

Rindu tak temu

Sepotong dahaga terinderai
Tapi kala itu sedang kering
Hampir-hampir mati
Mungkin lelah mencari air
Langkah terkulai
Tutur tertatih
Nafas memelan
Keringat bercucur
Pandang merabun
Dengar menuli
Seluruh indera hilang peka sampai liur tak ada guna
Antara jarak dan juang terlekat satu jasad
Merasuk bisik bisu
Menyandera narasi
Ketika rindu tak kunjung bertemu
Bait tentangmu jadi paras yang indah
Bersama kopi malam itu

Read More

13/04/14

Surat Dari Puncak

Bunda...
Darahmu mengalir dalam nadiku
Maaf ketika darah itu ku kotori dengan lakuku
Maaf ketika sujudku kepada Tuhan belum sebanyak nikmat yang Dia beri
Kasih Tuhan, Kasihmu Bunda
Bunda...
Anakmu tumbuh dengan susumu
Maaf ketika jalanku buatmu bingung
Maaf ketika fikirku memaksamu menangis
Kasih Tuhan, Kasihmu Bunda
Bunda...
Kabarku baik saja diatas tanah ini
Kakiku masih berpijak pada bumi NUsantara
Tanganku masih mencengkram hutan Sulawesi
Dan lidahku masih melafalkan syahadat yang kau ajarkan
Jika aku hanya sampai disini, biarlah
Jika nafas usai sekarang, aku siap
Salam buat Ayah
Usia bukan punyaku
Ruh bukan hartaku
Kasih Tuhan, Kasihmu Bunda
Bunda...
Ini hari, esok, atau lusa ketika aku pergi
Biarkan aku pergi tanpa genang air mata
Biarkan aku hilang tanpa wajah sendu darimu
Biarkan aku tidur dengan dekap lembutmu
Biarkan aku tersenyum dalam detik terakhirku
Biarkan aku menuju Dia dengan tenang
Bunda...
Ketika pusara telah terisi badanku
Ketika pusara telah tertutup tanah merah
Ketika nisan telah tertancap di pusara
Ku ingin kau tabur Edelweis, yang basah, segar, harum itu dengan senyuman
Edelweis yang pernah ku abadikan dalam bingkai 3R
Di atas pembaringanku, di atas peristirahatanku, di atas persemayaman harapan-harapanku
Bunda...
Jangan menangis
Jangan sedih
Aku kembali pada tempat yang damai, tempat terindah yang pernah kau ceritakan, tempat abadi kehidupan makhluk
Aku kembali pada Tuhan, pada kasih abadi
Karna Kasih Tuhan, Kasihmu Bunda
Read More